Perjuangan
Rakyat Semarang dalam Melawan Tentara Jepang - Pasca proklamasi dikumandangkan,
berita mengenai hal tersebut terus menyebar
hingga ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke
Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul
13.00 WIB berkumandang lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar
pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal
ini semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk
melakukan perebutan kekuasaan. Bahkan
Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang mengeluarkan pernyataan
atau perintah sebagai berikut :
Berdasarkan
atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite
Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama rakyat Indonesia
mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan untuk menjaga keamanan umum
di daerah Semarang.
1. Mulai
hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI untuk daerah Semarang
mulai berlaku.
2. Terhadap
segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata
api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya harus diserahkan
kepada polisi.
4. Hanya
bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.
5. Terhadap
segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil
tindakan keras.
6. Selanjutnya semua penduduk hendaknya melakukan
pekerjaannya sehari-hari sebagaimana biasa.
Semarang,
19 Agustus 1945 Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang Wongsonegoro. Suasana di
Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruan pemerintahan di
Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni
tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. Sementara pimpinan mereka
sedang berunding di dalam tangsi untuk membahas mengenai penyerahan senjata.
Perundingan itu berjalan tersendat- sendat, tetapi akhirnya disepakati
penyerahan senjata secara bertahap.
Ketegangan
antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar
400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para pemuda ke
penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil
melarikan diri dan minta perlindungan kepada batalion Kedobutai . Oleh karena
itu, tanpa menunggu perintah, para pemuda segera menyerang dan melakukan
perebutan senjata terhadap Jepang. Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat
Indonesia melawan pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran
Lima Hari di Semarang.
Pada
tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang
menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka
dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan
Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh
Jepang. Oleh karena rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi, kepala laboratorium
dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan air tersebut namun ia dibunuh
oleh tentara Jepang. Hal ini telah menambah sengitnya pertempuran antara para
pemuda melawan tentara Jepang.
Para
pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang.
Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan
kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha dapat menguasai
daerah Semarang kembali. Dalam
pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut
:
a. Poros
Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah dikuasai
para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan bantuan pasukan dari
Pekalongan dan Kendal.
b. Poros
Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
c. Poros Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah
Teknik dan mencegah datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan Rembang.
Sementara itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai penjuru,
baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti dari Demak,
Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo, Magelang, dan
Yogyakarta.
Tanggal
17 Oktober 1945, tercapai suatu perundingan mengenai gencatan senjata yang
diadakan di Candi Baru. Pihak Indonesia juga menyetujui perundingan tersebut.
Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata, ternyata Jepang masih
melanjutkan pertempuran. Pada tanggal 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang
berhasil mematahkan berbagai serangan para pemuda. Pada hari itu, telah datang
beberapa utusan pemerintah pusat dari Jakarta untuk merundingkan soal keamanan
dan perdamaian di Semarang.
Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu,
antara lain Kasman Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara
lain Jenderal Nakamura. Kemudian, dilanjutkan perundingan untuk mengatur
gencatan senjata. Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para
pemuda tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 Oktober 1945
pukul 10.00. Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan
pada perjanjian itu. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada
tanda-tanda semua senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang. Sementara
Jepang telah bersiap-siap untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul
07.45 terpetik berita bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang
dengan menumpang kapal HMS Glenry. Mereka terdiri atas pasukan Inggris,
termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang.
Dengan
kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya pertempuran
antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang. Untuk mengenang pertempuran Lima
Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan
Tugu Muda.
Perjuangan Rakyat Semarang dalam Melawan Tentara Jepang
Reviewed by Unknown
on
Maret 29, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: