close
4 Pahlawan Nasional Mendapat Penghargaan Dari Presiden Jokowi - Kelas Edukasi

4 Pahlawan Nasional Mendapat Penghargaan Dari Presiden Jokowi

“BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI JASA PAHLAWANNYA” – Ir. SUKARNO

Kalimat itu diucapkan Sukarno saat pidato Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1961. Menyiratkan pesan pentingnya mengingat perjuangan bersama di masa lampau, serta bersatu padu demi mencapai satu tujuan. Gelar Pahlawan Nasional merupakan penghargaan tertinggi bagi tokoh-tokoh yang dianggap berjasa.

Kerangka undang-undangnya pertama kali dikeluarkan saat Dekret Presiden No. 241 tahun 1958. Abdul Muis, sastrawan yang juga Pengurus Besar Sarekat Islam dan salah satu anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, jadi toko pertama yang mendapat gelar pertama Pahlawan Nasional. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, tercatat 14 tokoh yang dianugerahi gelar ini. Mereka berasal dari berbagai etnis, latar belakang, dan beragam bentuk perjuangan. Inilah beberapa di antara mereka:

Laksama Keumalahayati 


1. LAKSAMANA KEUMALAHAYATI (1550-1615)

Keumalahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Baca juga: Organisasi Gerakan Non Blok – Penjelasan, Asas, dan Tujuan

Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 keumalahayati mengalahkan sekaligus menewaskan Cornelis De Houtman, pemimpin kapal Belanda dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal. Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.

KHR. As'ad Syamsul Arifin

2. KHR. AS’AD SYAMSUL ARIFIN (1897-1990)

KHR. As'ad Syamsul Arifin lahir pada tahun 1897 di Mekah, meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. 

Ia adalah penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat al-Qur'an dari Kholil Al-Bangkalani untuk Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama. Ia di angkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, 9 November 2016 sesuai Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016.

BERNARD WILHEM LAPIAN


3. BERNARD WILHEM LAPIAN (1892-1977)

Lapian adalah penulis di surat kabar Pangkal Kemadjoean yang memperlihatkan sikap nasionalisme untuk membebaskan warga Indonesia dari kolonialisme. Pada 1930 hingga 1934. Bernard Wilhelm Lapian (lahir di Kawangkoan, 30 Juni 1892 – meninggal di Jakarta, 5 April 1977 pada umur 84 tahun) adalah seorang pejuang nasionalis berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. 

Perjuangannya dilakukan dalam berbagai bidang dan dalam rentang waktu sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946

Pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda bertekad untuk kembali ke Indonesia dan upaya ini didukung oleh pasukan Sekutu yang memasuki Indonesia setelah Jepang menyerah. Pada tanggal 14 Februari 1946, sekelompok prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di Manado dengan bantuan pemuda setempat dan pejuang kemerdekaan menangkap para perwira KNIL yang berkebangsaan Belanda. Pada tanggal 16 Februari 1946, Lapian yang merupakan Residen Manado pada waktu itu ditunjuk menjadi kepala pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Utara. 

Keadaan ini berlangsung hingga 10 Maret 1946, ketika Belanda berhasil menduduki kembali wilayah itu. Lapian ditangkap dan dipenjarakan di Manado. Dia dipindahkan ke Cipinang di Jakarta tahun 1947 dan kemudian ke Sukamiskin di Bandung tahun 1948. Ia dibebaskan pada tanggal 20 Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar.


Kematian dan Penghargaan

Lapian meninggal pada tanggal 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tahun 1958, Lapian dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya dan pada tahun 1976 ia menerima penghargaan Bintang Mahaputra Pratama. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara pada tanggal 5 November 2015. Sebuah monumen didirikan di Kawangkoan untuk Lapian dan Ch. Ch. Taulu untuk memperingati keterlibatan mereka dalam peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.



Tuan Guru Pancor

Tuan Guru Pancor


4. TUAN GURU PANCOR (1898-1997)

Maulana sysyaikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun) adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di provinsi tersebut. 

Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islam dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai. Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).

Perjuangan

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian beliau kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan sekembali dari tanah suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudian beliau pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. kemudian beliau pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. 

Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut beliau abadikan menjadi nama pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliau ambil dari kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok dan mengajar.

Pada zaman penjajahan, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama "Gerakan al-Mujahidin". 

Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan pada tanggal 7 Juli 1946, TGH. Muhammad Faizal Abdul Majid adik kandung Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan ini gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai Syuhada' sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong, Lombok Timur.

Wafat

Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.


Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah setempat setuju dan berusaha memperjuangkan agar beliau bisa diangkat sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Penutup. Demikianlah, artikel tentang 4 Pahlawan Nasional Mendapat Penghargaan Dari Presiden Jokowi. Semoga bermanfaat, dan jangan lupa kunjungi artikel lainnya, terima kasih. Sampai jumpa di postingan berikutnya.


Artikel terkait: 





4 Pahlawan Nasional Mendapat Penghargaan Dari Presiden Jokowi 4 Pahlawan Nasional Mendapat Penghargaan Dari Presiden Jokowi Reviewed by Ahmad Sobri on November 23, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.