Kalau sampai waktuku,
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu,
Tidak juga kau,
Tak perlu sedu sedan itu.
Aku ini binatang jalang,
Dari kumpulannya terbuang.
Biar peluru menembus hatiku,
Aku tetap meradang menerjang.
Luka dan bisa kubawa berlari,
Berlari,
Hingga hilang pedih perih,
Dan aku akan lebih tidak peduli,
Aku mau hidup seribu tahun lagi. (Chairil Anwar)
ANAKKU
Ya kekasihku,
Engkau datang mengintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka,
Tetapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anak tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak diperdengar,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kau tinggalkan.
Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling,
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghibur.
Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kau katakan barang pesenan,
Kan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian?
Sebagai anak melalui sedikit,
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang tua.
Tangan kecil lemah tergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapa dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anak datang,
Selekas anak pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Selamat datang anak kami,
Selamat jalan kekasih hati.
Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan. (J.E. Tatengkeng – Rindu dendam)
API SUCI
Selama nafas masih mengalun,
Selama jantung masih memukul,
Wahai api, bakarlah jiwaku.
Biar mengaduh, biar mengeluh,
Seperti wajah merah membara,
Dalam bakaran api menyala,
Biar jiwaku habis terlebur,
Dalam kobaran nyala raya.
Sesak mendesak rasa di kalbu,
Gelisah liar mata memandang,
Dimana duduk rasa dikejar.
Demikian rahmat tumpahkan selalu,
Nikmat rasa api menghangus,
Nyanyian semata bunyi jeritku. (Sutan Takdir Alisjahbana)
BANGUNLAH, OH PEMUDA
Gempita suara atas angkasa,
Wahyu kebangunan tanah tercinta,
Bangunlah pemuda, saudaraku sayang,
Dengarlah nyanyian girang gemirang,
Marilah saudara berbimbing tangan,
Mengayun langkah pulang ke taman.
Bersinar cahaya di ufuk timur,
Tanda bangsaku bangun tidur,
Insaflah saudaraku, pemuda bangsaku,
Mari berbakti kepada Ibu,
Gunakan ketika selagi ada,
Berbuatlah jasa selagi muda.
Ombak berdesir lagunya merdu,
Ditingkah kasidah alunan bayu,
Bangkitlah pemuda, saudaraku sebangsa,
Dengarlah panggilan Tanah tercinta,
Jangan lagi duduk termenung,
Marilah kita menyadari untung. (A. Hasmin)
BURUH
Duduklah hadapi meja
Tulis buku banyak ragam
Kopi masuk gula keluar
Kapok dibeli koprah dijual.
Semenjak pagi sudah begitu
Sampai petang baru berhenti
Lelah penat tidak terasa
Demikian asik menulis harta.
Bukan harta punya sendiri
Hanya harta punya majikan
Harta sendiri hanya tenaga
Tenaga badan dan pikiran.
Kapan pulang terasa penat
Istri di rumah pun dapat kerja...
Habis bulan terima gaji
Debet kredit dihitung ulang
Sekali ini harta sendiri
Membuat pusing kepala pening.
Masuk kiri keluar kanan
Setimbang tidak mana berat
Berat di kiri ada simpanan
Berat di kanan keluh kesah.
Bulan masuk tahun pergi
Nasib buruh tidak berubah
Siang-siang tangan penuh
Pulang balik tangan kosong
Istri di rumah setia terus
Senang susah sama dipukul. (A.M.Dg.Mijala atau A. M. Thahir)
BIMBANG
Sabar! Sabar! Sabar!
Inilah seruan yang acap kudengar,
Heran daku benar-benar,
Adakah aku belum cukup bersadar?
Sadar! Sadar! Sadar!
Inilah seruan yang acap kudengar,
Heran daku benar-benar,
Adakah aku belum cukup tersadar?
Semakin aku bersabar.
Semakin aku terlantar.
Semakin aku tersadar.
Semakin aku Kesasar. (A.M.Dg.Mijala atau A. M. Thahir)
DIMANA LETAK CINTA SEJATI...?
Bukan di rimba lebat dan sunyi,
Bukan di puncak bukit yang tinggi,
Bukan di pinggir samudera yang sepi.
Jangan dicari tempat memuja,
Di kuil tempat membakar dupa,
Di dalam gua tempat bertapa.
Bukan di mahligai batu pualam,
Dikatil terhias permata nilam,
Di dalam surga, di luar alam.
Cinta sejati lekat pada kita,
Bernyala-nyala waktu bekerja,
Untuk bahagia dunia raya.
Bernyala-nyala sewaktu bekerja,
Dimana kita merasa sejajar,
Sehidup semati, seniat-sedasar. (Intojo -pujangga baru-)
FANTASI
Bendera perjuangan berkibar lagi,
Gembira bertepuk atas kepalaku,
Darahku melancar gembira pula,
Debur-berdebur dalam dadaku.
Kututup mata karena nikmat,
Kulihat terang dalam fantasi,
Laskar rakyat maju ke depan,
Gembira-dahsyat gegerkan bumi.
Rapat-mampat mereka maju,
Nur ideal menerangi muka,
Girang gembira gemuruh lagu,
Tercurah dari jiwa merdeka. (Ipih. H.R.)
GITA GEMBALA
lemah gemulai lembut derana
bertiuplah angin sepantun ribut
menuju gunung arah ke sana
membawa awan bercampur kabut.
Dahan bergoyang sambut-menyambut
Menjatuhkan embun jernih berwarna
Menimpa bumi, beruap dan lembut
Sebagai benda tiada berguna.
Jauh di sana diliputi awan.
Terdengar olehku, bunyi nan rawan
Seperti penata di dada perawan.
Alangkah berahi, rasanya jantung
Mendengarkan bunyi suara kelintung
Melagukan gembala membawa untung?
Betapakah senang, hati si buyung
Jika beribu mamak berbapa
Tiada menanggung berbagai rupa
Memudikkan biduk tidak berdayung.
Betapakah senang jikalau berbapa
Berhalan di panas dikembangkan dayung
Seperti enau berteraskan ruyung
Tiada menanggung baya nestapa.
Ayuhai bunda, ibuku kandung
Belahan jiwa sepantun tudung
Di waktu panas, di mana berlindung?
Apakah jadi gerangan untung
Akar sehelai tempat bergantung
Putus di tengah, di pangkal pun.
Sekiranya hidup ayah dan bunda
Biar sekarang berbalik pulang
Kubawa badanku sebagai tanda
Anaknya hidup, sibirari’tulang.
Jika bermamak sekiranya ada
Untuk pendukung tempat berjalang.
Meskipun papa, tiada terbenda hina mulia nan
kujalang.
Apakah nasib pinang sebatang
Menentangkan langit bertabirkan bintang
Tenggelamnya pagi, timbulnya petang.
Apakah nasib badan seseorang
Melalui lembah beberapa jurang
Nasi sesuap dapatnya jarang.
Rasakan kena kepala hati
Pedihnya sampai ke tulang belulang
Karena nan bergading sudahlah mati
Meninggal dunia berbalik pulang.
Semenjak kecil musim berbilang
Lepaskanlah siang, malam dinanti
Tempat bersandar sudahlah hilang
Patah di tengah, haram berganti.
Sejakkah pagi di panas berjemur
Membawakan badan, kaki berlumur
Melalui padang, sertakan lumpur.
Besarlah hatiku, di alam makmur
Apabila matahari, naik di timur
Karena sehari, bertambah timur. (Muhammad Yamin -Jong Sumatra-)
KE DESA
Orang kota!
Pernahkan tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
Baru dicangkul menyegar rasa?
Pernah tuan duduk di tengah ladang,
Dengan peladang bersenda gurau,
Menunggu jagung di dalam unggun,
Sebelum pacul kelak mengayun?
Pernahkah tuan tegak di tepi sawah,
Padi beriak menyibak sukma,
Pipit bercicit,
Riang haram bersusah?
Pernahkan tuan lihat air berdesau,
Di celah batu membuih putih,
Julung beriring berbondong-bondong,
Hati terpaut ingin turut berenang-renang?
Pernahkah tuan pergi ke kampung,
Melihat perawan menumbuk padi,
Gelak tawa disertai suara lesung,
Mengenyah duka dari dalam hati?
Pernahkah tuan, pernahkah,
Ah, setahu apa beta menggubah,
Bila tuan ingin mencari penawar rengsa
Pergilah tuan, pergi ke desa? (Karta Hadimadja -Salak, bulan keenam
1942-)
KEHILANGAN MUSTIKA
Sepoi berhembus angin menyejukkan diri,
Kelana termenung
Merenung air,
Lincah bermain ditimpa sinar.
Hanya sebuah binatang
Kelip kemilau,
Tercepak di langit
Tidak berteman.
Hatiku, Hatiku,
Belumkah juga sejuk dibuai bayu,
Girang beriak mencontoh air,
Atau laksana bintang biarpun sunyi,
Tetap bersinar berbinar-binar,
Petunjuk nelayan di samudra lautan? (Karta Hadimadja –Panes Flaya-)
MENYESAL
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi.
Aku lalai di pagi hari,
Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracuni hati,
Miskin ilmu, miskin harta.
Ah, apa guna kusesalkan,
Menyesal tua tiada berguna,
Hanya menambah luka sukma.
Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti!
NASIB
Bagai biola yang larasnya,
Mengharu haramoni di dalam orkes,
Lagu hidupku ini tak beres,
Lakuku kurang lurus dan cerdasnya.
Karena didikan agak keliru,
Hidupku terdasar “perseorangan”,
Sekarang zaman “perkataan”,
Sesat dan sasar mengancam nasibku.
Lamalah sudah aku berperang,
Melawan musuh di dalam diri,
Kubujuk halus, keras kuhantam,
Amat sedikit kudapat menang.
Kebiasaan yang telah mendalam,
Susah ditukar, sukar disaingi. (Intojo)
13 Contoh Puisi Cinta dan Nasehat Lengkap dengan Pengarangnya
Reviewed by Ahmad Sobri
on
Oktober 09, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: