close
Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pada Masa Orde Baru - Kelas Edukasi

Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pada Masa Orde Baru

Mengapa pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru melaksanakan Revolusi Hijau? Perbedaan Revolusi Hijau pada masa Orde Baru dengan masa Reformasi? Pertanyaan tentang dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi? Pertanyaan Revolusi Hijau pada masa Orde Baru? Pertanyaan tentang perkembangan Revolusi Hijau? Dampak sosial ekonomi Revolusi Hijau pada masa Orde Baru bagi masyarakat desa adalah? Hubungan Revolusi Hijau dengan perubahan teknologi dan lingkungan pada masa Orde Baru? Dan tujuan Revolusi Hijau pada dasarnya adalah? Masih bingung dengan pernyataan atau pertanyaan di atas?



Langsung saja ya gaes kita cek penjelasan detailnya di bawah ini. Selamat membaca!

Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Sosial Ekonomi
Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Sosial Ekonomi

Sebelum Revolusi Hijau dicanangkan, produksi padi yang merupakan bahan pangan utama di Indonesia masih bergantung pada cara pertanian dengan mengandalkan luas lahan dan teknologi yang sederhana. Pada periode selanjutnya, intensifikasi pertanian menjadi tumpuan bagi peningkatan produksi pangan nasional. Usaha peningkatan produksi pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, pemerintah menerapkan kebijakan Rencana Kemakmuran Kasimo. Program itu dilakukan pada kurun waktu tahun 1952–1956. Keinginan mencapai produksi pangan yang tinggi kemudian dilanjutkan.

Beberapa program baru dilaksanakan, seperti program padi sentra pada tahun 1959–1962 dan program bimbingan masyarakat (bimas) pada tahun 1963–1965. Program-program tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip Revolusi Hijau di Indonesia melalui pelaksanaan kegiatan Pancausaha Tani yang mencakup intensifikasi dan mekanisasi pertanian. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah (departemen pertanian), seperti “Bimas (Bimbingan Massal), Intensifikasi Masal (Inmas), Insus (Intensifikasi Khusus), Opsus (Operasi Khusus).

Insus dan Opsus lebih menekankan pada peningkatan partisipasi petani secara kelompok dan aparat pembina dalam meningkatkan produksi. Insus merupakan upaya intensifikasi kelompok guna meningkatkan potensi lahan, sedangkan opsus merupakan upaya menjangkau lahan yang belum diintensifikasi dan mencoba memberi rangsangan dalam peningkatan produksi.
Berbagai usaha yang telah dilakukan belum berhasil menutupi kebutuhan pangan yang besar. Produksi beras per tahun menunjukkan kenaikan dari 5,79 juta ton pada tahun 1950 menjadi 8,84 juta ton pada tahun 1965. Namun, jumlah beras yang tersedia per jiwa masih tetap rendah sehingga impor beras masih tetap tinggi. Ketika ekonomi nasional memburuk pada awal tahun 1960-an, persediaan beras nasional juga menurun. Akibatnya, harga beras meningkat dan masyarakat sulit mendapatkan beras di pasar. Ketika Pelita I dimulai pada tahun 1969, sebuah rencana peningkatan hasil tanaman pangan khususnya beras dilakukan melalui program intensifikasi masyarakat (inmas).

Program inmas tersebut untuk melanjutkan program bimbingan masyarakat (bimas). Pusat-pusat penelitian itu tidak hanya bergantung pada pembudidayaan jenis padi yang telah dikembangkan oleh IRRI. Para peneliti Indonesia juga melakukan penyilangan terhadap jenis padi lokal. Mereka berhasil menemukan jenis padi baru yang lebih berkualitas, baik dalam penanaman, tingkat produksi, maupun rasa dengan memanfaatkan teknologi baru yang ada. Hasilnya, beberapa jenis benih unggul yang dikenal sebagai padi IR, PB, VUTW, C4, atau Pelita ditanam secara luas oleh para petani Indonesia sejak tahun 1970-an.

Perkembangan Revolusi Hijau di Indonesia mengalami pasang surut karena faktor alam ataupun kerusakan ekologi. Hal ini tentu saja memengaruhi persediaan beras nasional. Pada tahun 1972, produksi beras Indonesia terancam oleh musim kering yang panjang. Usaha peningkatan produksi beras nasional sekali lagi terganggu karena serangan hama dengan mencakup wilayah yang sangat luas pada tahun 1977. Produksi pangan mengalami kenaikan ketika program intensifikasi khusus (insus) dilaksanakan pada tahun 1980. Hasilnya, Indonesia mampu mencapai tingkat swasembada beras dan berhenti meng-impor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977 dan 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia.

Selain memanfaatkan jenis padi baru yang unggul, peningkatan produksi beras di Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia, mekanisasi pengolahan tanah, pola tanam, pengembangan teknologi pascapanen, penggunaan bahan kimia untuk membasmi hama pengganggu, pencetakan sawah baru, dan perbaikan serta pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Selain kebijakan intensifikasi, Indonesia juga melakukan pencetakan sawah baru. Sampai tahun 1985, sudah terdapat 4,23 juta hektar sawah beririgasi terutama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dibandingkan sekitar 1,8 juta hektar pada tahun 1964. Selama empat pelita, telah dibangun dan diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar sawah beririgasi. Dengan demikian Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam pengadaan pangan. Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota FAO (Food and Agricultur Organization). FAO telah banyak memberi bantuan untuk pengembangan pertanian. Keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan dibuktikan dengan adanya penghargan dari FAO pada tahun 1988. Hal tersebut menyatakan bahwa Indonesia telah mampu mengatasi masalah pangan.

Demikianlah, pembahasan tentang Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pada Masa Orde Baru yang dapat mimin tulis, semoga bermanfaat. Silahkan komen di kolom komentar bagi yang ingin bertanya atau request artikel lainnya. Salam sukses. 

Baca Juga:
Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pada Masa Orde Baru Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pada Masa Orde Baru Reviewed by Unknown on April 01, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.