Perkembangan
Organisasi Semimiliter Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia - Pada masa
kependudukan Jepang di Indonesia, Negara Asia Timur itu menerapkan sistem
pemerintahan dengan sifat kemiliteran. Sesuai dengan sifat pemerintahan
militer, Jepang berusaha mengembangkan organisasi militer. Namun untuk
memperkuat pemerintahannya, Jepang juga mengembangkan organisasi-organisasi
semimiliter dan pengerahan para pemuda yang kuat fisiknya.
a. Pengerahan Tenaga Pemuda
Kelompok
pemuda memegang peranan penting di Indonesia, apalagi melihat jumlahnya yang
cukup besar. Menurut penilaian Jepang, para pemuda apalagi yang tinggal di
daerah perdesaan, belum terpengaruh oleh alam pikiran Barat. Mereka secara
fisik cukup kuat, semangat, dan pemberani. Oleh karena itu, perlu dikerahkan
untuk membantu memperkuat posisi Jepang dalam menghadapi perang. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka para pemuda dijadikan sasaran utama
bagi propaganda Jepang. Dengan“Gerakan Tiga A” serta semboyan “Jepang,
Indonesia sama saja, Jepang saudara tua”, tampaknya cukup menarik bagi kalangan
pemuda. Pernyataan Jepang tentang persamaan, dinilai sebagai suatu perubahan
baru dari keadaan di masa Belanda yang begitu diskriminatif.
Sebelum
secara resmi membentuk organisasi-organisasi semimiliter, Jepang telah melatih
para pemuda untuk menjadi pemuda yang disiplin, memiliki semangat juang tinggi
(seishin) dan berjiwa ksatria (bushido) yang tinggi. Sesuai dengan sifat
pemuda yang energik, maka yang ditekankan kepada para pemuda adalah seishin
(semangat) dan bushido (jiwa satria). Selain itu, juga dikembangkan jiwa
disiplin dan menghilangkan rasa rendah diri. Salah satu cara untuk menanamkan
nilat-nilai tersebut kepada kaum muda adalah dengan pendidikan, baik pendidikan
umum maupun pendidikan khusus.
Pendidikan
umum, seperti sekolah rakyat (sekolah dasar) dan sekolah menengah. Sedangkan
pendidikan khusus adalah latihan- latihan yang diadakan oleh Jepang.
Latihan-latihan yang diadakan Jepang, antara lain BPAR (Barisan Pemuda Asia
Raya). Wadah ini digunakan untuk menanamkan semangat Jepang. BPAR diadakan dari
tingkat pusat di Jakarta. Kemudian di daerah-daerah dibentuk Komite Penginsafan
Pemuda, yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur kepanduan. Bentuk komite
seperti ini sifatnya lokal dan disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing.
Barisan
Pemuda Asia Raya tingkat pusat diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942 dengan
pimpinan dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Sebenarnya, BPAR bagian dari
Gerakan Tiga A. Program latihan di BPAR diadakan dalam jangka waktu tiga bulan
dan jumlah peserta tidak dibatasi. Semua pemuda boleh masuk mengikuti latihan.
Di dalam latihan-latihan tersebut ditekankan pentingnya semangat dan keyakinan,
mengingat mereka akan menjadi pimpinan para pemuda.
Selain
BPAR, Jepang juga membentuk wadah latihan yang disebut San A Seinen Kutensho di
bawah Gerakan Tiga A, yang diprakarsai oleh H. Shimuzu dan Wakabayashi. Di
dalam San A Seinen Kutensho latihan diadakan selama satu setengah bulan.
Latihan-latihannya bersifat khusus, yakni ditujukan kepada para pemuda yang
sudah pernah aktif di dalam organisasi, misalnya kepanduan. Di samping
latihan-latihan yang berkaitan dengan kedisiplinan dan semangat, pemuda juga
diajari mengenai pengetahuan-pengetahuan praktis seperti memasak, merawat
rumah, serta berkebun. Selain itu, pemuda juga diajari bahasa Jepang. Pada
tahap pertama pelatihan, telah dilatih sebanyak 250 orang.
Meskipun
telah dibentuk San A Seinen Kutensho , perkumpulan kepanduan juga masih
diadakan, misalnya “Perkemahan Kepanduan Indonesia” (Perkindo) yang diadakan di
Jakarta. Gerakan kepanduan merupakan wadah yang cukup baik untuk membina kader
yang penuh semangat dan disiplin. Perkumpulan ini pernah dikunjungi oleh
Gunseikan dan tokoh Empat Serangkai dari Putera.
b. Organisasi Seinendan
Seinendan
(Korps Pemuda) adalah organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun. Pada
awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang pemuda dari seluruh Jawa. Tujuan
dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat
menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang,
untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan
dalam perang Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda.
Oleh karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui organisasi
Seinendan. Dalam hal ini Seinendan difungsikan sebagai barisan cadangan yang
mengamankan garis belakang.
Pengkoordinasian
kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada penguasa setempat. Misalnya di daerah
tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di daerah ken, ketuanya
kenco sendiri dan seterusnya. Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga
menggerakkan Seinendan. Sampai
pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar
500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota Seinendan
antara lain, Sukarni dan Latief Hendraningrat.
c. Keibodan
Organisasi
Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semimiliter yang anggotanya
para pemuda yang berusia antara 25-35 tahun. Ketentuan utama untuk dapat masuk
Keibodan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik. Apabila
dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk
membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan ini memang
dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga lalu lintas dan
pengamanan desa. Untuk itu anggota Keibodan juga dilatih kemiliteran. Pembina
keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (shu) dibina
oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu) . Di kalangan orang-orang Cina juga
dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.
Untuk
meningkatkan kualitas dan keterampilan keibodan maka Jepang mengadakan program
latihan khusus untuk para kader. Latihan khusus tersebut diselenggarakan di
sekolah Kepolisian di Sukabumi. Jangka waktu latihan tersebut selama satu
bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara langsung oleh para polisi
Jepang. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh kaum nasionalis.
Organisasi
Seinendan dan Keibodan dibentuk di daerah-daerah seluruh Indonesia, meskipun
namanya berbeda-beda. Misalnya di Sumatra disebut Bogodan dan di Kalimantan
disebut Borneo Konan Kokokudan. Jumlah anggota Seinendan diperkirakan mencapai
dua juta orang dan keibodan mencapai sekitar satu juta anggota.
Selain
Seinendan dan Keibodan, pada bulan Agustus 1943 juga dibentuk Fujinkai
(Perkumpulan Wanita). Anggotanya minimal harus berusia 15 tahun. Fujinkai
bertugas di garis belakang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan kursus-kursus. Ketika situasi perang
semakin memanas, Fujinkai ini juga diberi latihan militer sederhana, bahkan
pada tahun 1944 dibentuk “Pasukan Srikandi”. Organisasi sejenis juga dibentuk
untuk usia murid SD yang disebut Seinentai (barisan murid sekolah dasar),
kemudian dibentuk Gakukotai (barisan murid sekolah lanjutan).
d. Barisan Pelopor
Pada
pertengahan tahun 1944, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan
Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk
menumbuhkan keinsyafan dan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat untuk
memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka
mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari
kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1 November 1944, Jepang membentuk
organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”.
Melalui
organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga
siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia. Organisasi
semimiliter “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah
seorang nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto
Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo.
Organisasi
“Barisan Pelopor” berkembang di daerah perkotaan. Organisasi ini mengadakan
pelatihan militer bagi para pemuda, meskipun hanya menggunakan peralatan yang
sederhana, seperti senapan kayu dan bambu runcing. Di samping itu, mereka juga
dilatih bagaimana menggerakkan massa, memperkuat pertahanan, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Keanggotaan dari Barisan Pelopor
ini mencakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar maupun yang berpendidikan
rendah, atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Keanggotaan yang
heterogen ini justru diharapkan menimbulkan semangat solidaritas yang tinggi,
sehingga timbul ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi.
Barisan
Pelopor ini berada di bawah naungan Jawa Hokokai. Anggotanya mencapai 60.000
orang. Di dalam Barisan Pelopor ini, dibentuk Barisan Pelopor Istimewa yang
anggotanya dipilih dari asrama-asrama pemuda yang terkenal. Anggota Barisan
Pelopor Istimewa berjumlah 100 orang, di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit,
Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah Sudiro.
Barisan Pelopor Istimewa berada di bawah kepemimpinan para nasionalis. Oleh
karena itu, organisasi Barisan Pelopor ini berkembang pesat. Dengan adanya
organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan
rakyat Indonesia menjadi berkobar.
e. Hizbullah
Pada
tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan janji tentang kemerdekaan
untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai
kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu
Jepang untuk menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk
membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000
orang.
Rencana
Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah
masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh
Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya,
mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu
digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu
digunakan untuk persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Berkaitan
dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk
membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam.
Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarelawan
pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah
Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishinti.
Untuk
mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat
Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan
wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya antara lain, Prawoto
Mangunsasmito, Kiai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto. Setelah
itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran
melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta mengirim 25 orang
pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17-25 tahun.
Berdasarkan
usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian
dilatih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pada
tanggal 28 Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara
Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh pengurus Masyumi, seperti K.H.
Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya,
pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi
kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat
mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para
pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira
Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan
seorang putri dari Tasik).
Latihan
dilakukan di Cibarusa selama tiga setengah bulan. Program latihannya di samping
keterampilan fisik kemiliteran, juga dalam bidang mental rohaniah. Keterampilan
fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang mental
kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil (bidang kekebalan), K.H. Mawardi
(bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kiai Tohir Basuki
(bidang sejarah). Sementara itu, sebagai ketua asrama adalah K.H. Zainul
Arifin.
Latihan
di Cibarusa berhasil membina kader-kader pejuang yang militan. Pelatihan itu
juga menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah. Setelah selesai
pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membentuk cabang-cabang
Hizbullah beserta program pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan
Hizbullah di berbagai daerah
Para
anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah
air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis
terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat.
Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi
demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai organisasi
semimiliter di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi
semimiliter berada di bawah naungan Masyumi.
Perkembangan Organisasi Semimiliter Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia
Reviewed by Unknown
on
Maret 28, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: