Organisasi
Pergerakan Pada Masa Pendudukan Jepang - Pada masa pendudukan Jepang atas
Indonesia, telah banyak organisasi yang dibentuk. Organisasi- organisasi yang
didirikan di indonesia pada masa itu terdiri atas perkumpulan yang bersifat
semimiliter dan militer. Zaman Belanda tidak ada organisasi pergerakan yang
bersifat semi militer.
Terdapat
sebuah era baru yang berbeda pada perkembangan organisasi pergerakan antara
zaman kolonial Belanda dengan era pendudukan Jepang. Pada masa kolonial Belanda,
umumnya organisasi pergerakan yang muncul dan berkembang diprakarsai oleh para
pejuang rakyat Indonesia, tetapi pada zaman Jepang banyak organisasi atau
perkumpulan yang berdiri diprakarsai oleh Jepang, sementara para tokoh Indonesia
mencoba memanfaatkan organisasi itu untuk kepentingan perjuangan.
Hal
ini juga tampak berhubungan dengan perkembangan pandangan sikap para tokoh
Indonesia dalam menghadapi pendudukan Jepang. Banyak di antara para tokoh
Indonesia yang mencoba memanfaatkan masa pendudukan Jepang untuk melanjutkan
perjuangan menuju kemerdekaan. Mereka mengambil sikap dan strategi bekerja sama
dengan Jepang.
Sebagai
contoh pada masa pendudukan Jepang, Sukarno bersedia bekerja sama dengan
Jepang. Faktor penyebabnya adalah kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905.
Sehingga Sukarno merupakan salah seorang tokoh pergerakan kebangsaan yang
terkesan pada kehebatan Jepang, dan percaya bahwa Jepang akan memenangkan
perang. Sementara, Moh. Hatta dan Syahrir yang dikenal antifasisme, semestinya
menentang Jepang. Namun, keduanya menyusun strategi yang saling melengkapi.
Moh. Hatta mengambil sikap kooperatif dengan Jepang, sementara Syahrir akan
menyusun “gerakan bawah tanah” (gerakan rahasia).
Syahrir
bergerak di “bawah tanah” dan mendapat dukungan dari tokoh- tokoh lain, seperti
Cipto Mangunkusumo dan mantan anggota PNI Baru, Amir Syarifudin. Amir
Syarifudin dikenal sebagai sosok yang bersikap anti-Jepang. Bahkan Amir
Syarifudin dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyusun gerakan perlawanan terhadap
Jepang. Untuk ini Amir Syarifudin telah menerima sejumlah uang dari seorang
pejabat Belanda (Van der Plas), sebagai imbalan. Amir Syarifudin sebagai
anggota PKI terikat dengan kebijakan Commintern yang menjalankan doktrin
Dimitrov yakni bekerja sama dengan kapitalis untuk menghambat Fasisme karena
itu Amir mau bekerja sama dengan Belanda (Kapitalis).
Sedangkan
terhadap umat Islam, Jepang berusaha sekuat tenaga untuk mendekatinya. Sebab,
umat Islam dinilai secara mayoritas anti peradaban Barat, sehingga diharapkan
menjadi kekuatan besar dan mau membantu Jepang dalam menghadapi Sekutu. Sukarno
dan Moh. Hatta bergabung dalam mengambil sikap kooperatif dengan Jepang.
Langkah tersebut diambil semata-mata demi tujuan yang lebih penting, yakni kemerdekaan.
Bahkan kedua tokoh ini juga mengusulkan agar segera dibentuk organisasi
politik, karena setelah Jepang berkuasa di Indonesia, semua organisasi politik
yang pernah berkembang di zaman Hindia Belanda dibubarkan.
A. Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan
a. Gerakan Tiga A
Untuk
mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang membentuk sebuah perkumpulan yang
dinamakan Gerakan Tiga A (3A). Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 29 Maret
1942. Sesuai dengan namanya, perkumpulan ini memiliki tiga semboyan, yaitu
Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia , dan Nippon Pemimpin Asia .
Sebagai
pimpinan Gerakan Tiga A, bagian propaganda Jepang ( Sedenbu ) telah menunjuk
bekas tokoh Parindra Jawa Barat yakni Mr. Syamsuddin sebagai ketua dengan
dibantu beberapa tokoh lain seperti K. Sutan Pamuncak dan Moh. Saleh.
Jepang
berusaha agar perkumpulan ini menjadi wadah propaganda yang efektif. Oleh
karena itu, di berbagai daerah dibentuk komite-komite. Sejak bulan Mei 1942,
perhimpunan itu mulai diperkenalkan kepada masyarakat melalui media massa. Di
dalam Gerakan Tiga A juga dibentuk subseksi Islam yang disebut “Persiapan
Persatuan Umat Islam”. Subseksi Islam dipimpin oleh Abikusno Cokrosuyoso.
Ternyata sekalipun dengan berbagai upaya,
Gerakan Tiga A ini kurang mendapat simpati dari rakyat. Gerakan Tiga A hanya
berumur beberapa bulan saja. Jepang menilai perhimpunan itu tidak efektif.
Bulan Desember 1942 Gerakan Tiga A dinyatakan gagal.
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
“Gerakan
Tiga A” dinilai gagal oleh Jepang. Kemudian Jepang berusaha mengajak tokoh
pergerakan nasional untuk meningkatkan kerja sama. Jepang kemudian mendirikan
organisasi pemuda, Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukardjo Wiryopranoto.
Organisasi itu juga tidak mendapat sambutan rakyat. Jepang kemudian membubarkan
organisasi itu.
Dukungan
rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya. Hal ini terjadi
karena sikap dan tindakan Jepang yang berubah. Seperti telah disinggung di
depan, Jepang mulai melarang pengibaran bendera Merah Putih dan yang boleh
dikibarkan hanya bendera Hinomaru serta mengganti Lagu Indonesia Raya dengan
lagu Kimigayo. Jepang mulai membiasakan mengganti kata-kata banzai (selamat
datang) dengan bakero (bodoh). Masyarakat mulai tidak simpati terhadap
Jepang.“Saudara tua” tidak seperti yang mereka janjikan.
Sementara
perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai memojokkan Jepang. Kekalahan Jepang
di berbagai medan pertempuran telah menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat.
Oleh karena itu, Jepang harus segera memulihkan keadaan. Jepang harus dapat
bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis terkemuka, antara lain Sukarno dan
Moh. Hatta. Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia
Belanda, maka segera dibebaskan oleh Jepang. Pada tanggal 9 Juli 1942 Sukarno
sudah berada di Jakarta dan bergabung dengan Moh. Hatta.
Pemimpin
Indonesia seperti Sukarno , Hatta, K.H. Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara,
Sutardjo Kartohadikusumo, Abikusno Cokrosuyoso, dan Prof. Dr. Supomo, ikut
dalam komisi untuk menyelidiki adat istiadat Indonesia.
Jepang
berusaha untuk menggerakkan seluruh rakyat melalui tokoh-tokoh nasionalis.
Jepang ingin membentuk organisasi massa yang dapat bekerja untuk menggerakkan
rakyat. Bulan Desember 1942 dibentuk panitia persiapan untuk membentuk sebuah
organisasi massa. Kemudian Sukarno, Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar
Dewantara dipercaya untuk membentuk gerakan baru. Gerakan itu bernama Pusat
Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk tanggal 16 April 1943. Mereka kemudian disebut
sebagai empat serangkai. Sebagai ketua panitia adalah Sukarno. Tujuan Putera
adalah untuk membangun dan menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah
dihancurkan oleh Belanda. Menurut Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan
segala potensi masyarakat Indonesia guna membantu Jepang dalam perang. Di
samping tugas di bidang propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang
sosial ekonomi.
Menurut
struktur organisasinya, Putera memiliki pimpinan pusat dan pimpinan daerah.
Pimpinan pusat dikenal sebagai Empat Serangkai. Kemudian pimpinan daerah
dibagi, sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syu, ken , dan gun. Putera
juga mempunyai beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang Jepang. Mereka
adalah S. Miyoshi, G. Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama.
Pada
awal berdirinya Putera, cepat mendapatkan sambutan dari organisasi massa yang
ada. Misalnya dari Persatuan Guru Indonesia, Perkumpulan Pegawai Pos Menengah, Pegawai
Pos Telegraf Telepon dan Radio, serta Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah
pimpinan Maria Ulfah Santoso. Dari kalangan pemuda terdapat sambutan dari
organisasi Barisan Banteng dan dari kelompok pelajar terdapat sambutan dari
organisasi Badan Perantaraan Pelajar Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia.
Mereka semua bergabung ke dalam Putera.
Putera
pun berkembang dan bertambah kuat. Sekalipun di tingkat daerah tidak berkembang
baik, namun Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi
kemerdekaan Indonesia. Melalui rapat-rapat dan media massa, pengaruh Putera
semakin meluas.
Perkembangan
Putera akhirnya menimbulkan kekhawatiran di pihak Jepang. Oleh karena itu,
Putera telah dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan
ke arah kemerdekaan, tidak digunakan sebagai usaha menggerakkan massa untuk
membantu Jepang. Ternyata sikap dan tindakan para pemimpin nasionalis ini
tercium juga oleh penguasa Jepang, maka
pada tahun 1944 Putera dinyatakan bubar oleh Jepang. Melalui badan propaganda
Jepang ini Bahasa Indonesia mulai tersebar di kalangan masyarakat Indonesia
sekaligus pula membuat nasionalisme Indonesia semakin kuat.
c. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Syura Muslimin (Masyumi)
Berbeda
dengan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung anti terhadap umat Islam,
Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia. Jepang sangat
memerlukan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan Sekutu. Oleh karena itu,
sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup berpengaruh pada masa pemerintah
kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali. Dengan demikian,
MIAI diharapkan segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat
dimobilisasi untuk keperluan perang.
Dengan
diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi pergerakan yang cukup
penting di zaman pendudukan Jepang. MIAI menjadi tempat bersilaturakhim,
menjadi wadah tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal
yang menyangkut kehidupan umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan.
MIAI senantiasa menjadi organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam
perjuangan membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal
adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah
belah”. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, MIAI berkembang baik.
Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta.
Untuk
merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugasnya, MIAI membuat program yang
lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius. Secara
khusus program-program itu akan diwujudkan melalui rencana pembangunan masjid
Agung di Jakarta, mendirikan universitas, dan membentuk baitulmal.
MIAI
terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar
Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat
agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk
memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil
membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis
Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan
aktivitasnya, MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.
Keberhasilan
program baitulmal, semakin memperluas jangkauan perkembangan MIAI. Dana yang
terkumpul dari program tersebut semata- mata untuk mengembangkan organisasi dan
perjuangan di jalan Allah, bukan untuk membantu Jepang.
Arah
perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang sebagai organisasi yang tidak memberi konstribusi terhadap Jepang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan harapan Jepang sehingga pada November 1943
MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya, Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia). Harapan dari pembentukan majelis ini adalah agar Jepang
dapat mengumpulkan dana dan dapat menggerakkan umat Islam untuk menopang
kegiatan perang Asia Timur Raya.
Ketua
Masyumi ini adalah Hasyim Asy’ari dan
wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat
menjadi penasihat dalam organisasi ini adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul
Wahab. Masyumi sebagai induk organisasi Islam, anggotanya sebagian besar dari
para ulama. Dengan kata lain, para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan
politik.
Masyumi
cepat berkembang, di setiap karesidenan ada cabang Masyumi. Oleh karena itu,
Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana. Dalam
perkembangannya, tampil tokoh-tokoh muda di dalam Masyumi antara lain Moh.
Natsir, Harsono Cokroaminoto, dan Prawoto Mangunsasmito. Perkembangan ini telah
membawa Masyumi semakin maju dan warna politiknya semakin jelas. Masyumi
berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan
sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Masyumi menjadi
organisasi massa yang pro rakyat, sehingga menentang keras adanya romusa.
Masyumi menolak perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusa.
Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
Sikap
tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai Jepang.
Sebagai contoh, pada suatu pertemuan di Bandung, ketika pembesar Jepang
memasuki ruangan, kemudian diadakan acara seikerei (sikap menghormati Tenno
Heika dengan membungkukkan badan sampai 90 derajat ke arah Tokyo) ternyata ada
tokoh yang tidak mau melakukan seikerei, yakni Abdul Karim Amrullah (ayah
Hamka). Akibatnya, muncul ketegangan dalam acara itu. Namun, setelah tokoh
Islam itu menyatakan bahwa seikerei bertentangan dengan Islam, sebab sikapnya
seperti orang Islam rukuk waktu sholat. Menurut orang Islam rukuk hanya
semata-mata kepada Tuhan dan menghadap ke kiblat. Dari alasan itu, akhirnya
orang- orang Islam diberi kebebasan untuk tidak melakukan seikerei .
d. Jawa Hokokai
Tahun
1944, situasi Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat
mengalahkan tentara Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan
Jepang di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Panglima Tentara
ke-16, Jenderal Kumaikici Harada membentuk organisasi baru yang diberi nama
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang
tersebut, Jepang membutuhkan persatuan dan semangat segenap rakyat baik lahir
maupun batin. Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah
demi kemenangan perang. Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal yakni mengorbankan
diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan suatu tindakan dengan bukti.
Susunan
dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda dengan Putera. Jawa Hokokai
benar-benar organisasi resmi pemerintah. Oleh karena itu, pimpinan pusat Jawa
Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan
pusat dipegang oleh Gunseikan , sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan
Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah ( syu / shu ) dipimpin oleh Syucokan/Shucokan
dan seterusnya sampai daerah ku (desa) oleh Kuco (kepala desa/lurah), bahkan
sampai gumi di bawah pimpinan Gumico.
Dengan
demikian, Jawa Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh,
bahkan sampai tingkat rukun tetangga (Gumi atau Tonarigumi). Tonarigumi
dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang
terdiri atas 10-20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh serta ketua RT bertanggung
jawab atas kelompok masing-masing.
Jawa
Hokokai adalah organisasi pusat yang anggota-anggotanya terdiri atas
bermacam-macam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya.
Misalnya Kyoiku Hokokai (kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai
(wadah kebaktian para dokter). Jawa Hokokai juga mempunyai anggota istimewa,
seperti Fujinkai (organisasi wanita), dan Keimin Bunka Shidosho
(Pusat Kebudayaan). Di dalam membantu memenangkan perang, Jawa Hokokai telah
berusaha antara lain dengan pengerahan tenaga dan memobilisasi potensi sosial
ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil bumi sesuai dengan target yang di
tentukan.
Organisasi
Jawa Hokokai ini tidak berkembang di luar Jawa, sehingga Golongan nasionalis di
luar Jawa kurang mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatra
berpendapat bahwa di Sumatra terdapat banyak suku, bahasa, dan adat istiadat,
sehingga sulit dibentuk organisasi yang besar dan memusat, kalau ada hanya
lokal di tingkat daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga
dapat berkembang sesuai yang diinginkan Jepang.
Organisasi Pergerakan Pada Masa Pendudukan Jepang
Reviewed by Unknown
on
Maret 28, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: