Apa kabar sobat-sobat pengunjung setia kelaseduka.com? Semoga sehat selalu ya aamiin. Judul artikel cerpen persahabatan sejati panjang, cerpen sahabat terbaik, cerpen persahabatan terakhir, cerpen persahabatan singkat dan unsur intrinsiknya, cerpen persahabatan dan cinta, cerpen persahabatan lucu, cerpen persahabatan sejati senyum terakhir, cerita fiksi tentang persahabatan. Tapi pada kesempatan kali ini mimin akan share artikel Cerpen Persahabatan Singkat Bikin Haru.
Berikut cerpen
yang membuat haru dan sangat menarik untuk dibaca bertema ‘SAHABAT’
Selamat
membaca...!
![]() |
Foto: Cerpen Persahabatan |
Terminal Pulogadung masih seperti dulu, ramai dan acak-acakan. Pedagang kaki lima serta
calo liar tetap saja jadi masalah, menghapus kenyamanan pengguna jasa terminal
sehingga mesti mahir membelah kemacetan jalan, berlari dan menyelinap. Kondisi jalan
pun tambah amburadul, membuktikan ketidakmampuan pemborong proyek jalan
memperhitungkan volume kendaraan yang menggunakannya. Akibatnya ya jalan
menjadi cepat sempal dan landai di sana-sini berlapis ceceran oli bis serta
sampah-sampah yang berserakan. Sebagai bagian dari wilayah metropolitan.
Pulogadung merupakan borok kecil, segaris pertanyaan tentang impian orang desa,
apalagi ia memang salah satu sentra industrialisasi milik negara
kita.
Aku lama terpana, menyaksikan serbaneka kesibukan manusia-manusia yang
tumpah di situ, padahal seharusnya aku bergegas mencari bis antarkota jurusan
Semarang sebagaimana niatku ke Pulogadung ini. Tetapi hiruk-pikuknya yang
begitu berirama, membuat imajinasiku tergugah untuk memperhatikan apa-apa yang
kelak bisa kugali, kutuangkan dalam tulisan kecil atau sekedar buat bahan
obrolan di Semarang nanti di tengah keluarga Waskito yang mengundangku datang
ke sana, sehubungan ada acara khusus entah apa, surprise katanya!
“Minta
sedekahnya, Dik…,” rengek seorang pengemis perempuan tua. Dan kalimat itu terus
diulanginya sambil mencolek tanganku. Aku gelengkan kepala memberi
syarat. Namun ia tetap berdiri di dekatku, meremas-remas ujung bajunya yang
kumal, betul-betul ngotot dan ulet.
“Tak ada uang
receh, maaf saja,” kataku pelan. Tak bermaksud sombong.
Pengemis tua
itu tak beranjak, bergeserpun tidak. Kuperhatikan wajahnya ia menunduk
dalam-dalam tanpa menghentikan meremas ujung bajunya, kulihat pula matanya
mulai berkaca-kaca, sungguh bingung aku dibuatnya.
“Apa ibu lapar?
Aku punya dua bungkus roti. Mau?” Aku jadi jatuh iba.
Ketika aku
sedang membuka ransel untuk mengambil roti, tiba-tiba di seberang jalan
orang-orang berteriak panik. Copet!
Jambret! Rampok! Penjahat! Seorang wanita muda menangis histeris sejadi-jadinya,
setelah menyadari penjambret itu merampas tasnya, keadaan berubah kacau balau
tanpa terkendali, puluhan lelaki mengejar tersangka yang berlari ke arah timur.
Mungkin karena postur tubuhnya yang ringkas, penjahat itu begitu lincah
bergerak, menjauhi orang-orang yang tampak bernafsu ingin meringkusnya. Ia lalu
malah berani melakukan tindakan berbahaya, yakni berlari di atas kap mobil yang
kebetulan sedang macet di lampu merah. Usianya bisa ditaksir kira-kira
duapuluhan tahun, dengan wajah keras akibat gemblengan hidup yang teramat keras,
ia masih memegang tas rampasannya. Berlari dan berlari.
“Oalaa, Timin! Kenapa kau lakukan itu, Nak…,” gumam lemas perempuan
tua di sebelahku ini.
“Siapa dia, Bu?”
tanyaku ingin tahu.
“Dasar anak nakal,
aku sudah berkali-kali melarangnya!”
“Siapa dia, Bu?”
tanyaku sekali lagi.
“Keponakanku,
mungkin ia tidak tahu aku sedang mencarinya ternyata ia makin kurangajar!”
“Kalau sampai
tertangkap. Keponakan ibu itu akan babak belur. Kasihan, sebaiknya dia
menyerahkan diri ke polisi!”
“Biarkan saja, aku
mengajaknya bukan untuk melakukan kejahatan, tapi jadi pedagang asongan. Ah,
Timin…”
“Apa dia tak
serumah dengan ibu di sini?”
“Lima bulan yang
lalu memang iya, namun sejak aku kena razia, dan dia juga kena sasaran pembersihan
khusus K5, maka aku di dikirim ke Pondok Bambu, entahlah bagaimana nasib Timin
waktu itu, aku kehilangan kabar tentangnya. Aku jadi pengemis di Jakarta hanya
karena terpaksa, mulanya aku dan Timin berjualan nasi di pasar Senen, sampai
akhirnya terjadi kebakaran di warungku, meludeskan semua modal yang kami bawa, kecuali seuntai kalung
dan cincin emasku, itulah yang kupertaruhkan untuk dagangan Timin, sedangkan
aku ya jadi pengemis beginilah.”
”Kenapa tidak pulang ke kampung saja
dengan sisa uang itu?”
“Aku dan Timin adalah orang-orang yang terusir! Lalu ibu tua itu bercerita tentang
dirinya, nasibnya, masa lalu dan hal-hal lain yang tak kumengerti.
“Di Jakarta sekarang ini, ibu
tinggal di mana?
“Aku baru tadi malam lolos dari
yayasan sosial di Pondok Bambu itu. Pagi ini rencananya aku mau mengajak Timin
cari kontrakan rumah yang semurah-murahnya, aku tahu Timin di sini dari
pengemis yang sebulan lalu kena razia di dalam terminal ini. Sudahlah, aku
harus menunggu di dekat pintu gerbang kantor polisi, kalau-kalau Timin
diserahkan ke sana aku akan menemaninya. Semua memang jadi nasib kami,” tutur
pengemis tua itu, berusaha tabah.
“Ini rotinya, makanlah. Dan ini uang
lima ribu rupiah, biarlah buat ibu dan Timin!”
“Perempuan itu seperti tersentak,
kemudian diterimanya pemberianku dengan tangan jelas gemetar. Wajahnya
memandang dan memancarkan keharuan yang begitu memelas. Aku jadi ikut-ikutan
larut dalam suasana melankolis ini, ia menghela nafas panjang.
“Terima kasih, kau sungguh sangat
baik Dik. Terima kasih!” ia lalu melangkah meninggalkanku, sambil sekali-kali
menoleh ke arahku dengan pandangan tak percaya.
Ada sejuk di pojok hati ini.
Kemudian agar tidak terlalu
kemalaman sampai di Semarang, bergegas aku memasuki terminal dan langsung naik
bis yang menjanjikan AC dan musik serta televisi, supaya di perjalanan aku tak
lekas penat. Aku memilih bangku tengah, sehingga lebih leluasa menonton
televisi yang sudah distel, kendati menyiarkan acara-acara rutin yang
menyebalkan. Dan ketika acara berganti dengan acara pembangunan nasional,
dengan cuplikan proyek yang sedang digarap, aku jadi ingat pengemis tadi
beserta obrolan unek-uneknya.
Saat bis mulai berangkat dari
terminal aku tertidur.
****
Rumah Waskito masih bau cat, terletak
di jalan yang sudah beraspal dan tak jauh dari ruko-ruko yang kini memang telah
jadi mode. Waskito baru membangun rumah anyarnya itu tiga bulan lalu. Aku dapat
cepat menemukan alamatnya karena faktor-faktor ini. Ia masih tetap ramah dengan
wajahnya yang ‘baby face’ dan tawanya yang unik, kami berangkulan, melepas
kangen setelah enam tahun berpisah seiring habisnya kontrak kerja kami di
Jakarta.
“Kau tampak agak tua, tapi lebih
gemuk. Sendirian? Mana istrimu?” tanya Waskito sambil memperhatikanku penuh
jeli.
“Masih single, tapi bukan berarti
aku kecanduan makan sate di pinggir jalan, cuma belum siap saja. Kau?”
“Sama!” Kami tertawa penuh merdeka,
ingat kelakuan kami masing-masing selama di bedeng dulu, ke luar malam
sepanjang jalan-jalan sekitar Mangga Besar dan Monas. Tanpa harus menyinggung
ke hal yang lebih jauh, apalagi di rumahnya ini.
“Kita memang betul-betul ‘Dua Lelaki
Pemetik Bunga’, apalagi kau, seratus persen!” katanya lagi, kembali kami terbahak-bahak
penuh cerita, bahkan Waskito sampai berguncang bahunya, ia memang jagoan
ngakak.
“Apa kerjamu sekarang, To!” tanyaku
setelah suasana reda.
“Gigolo!”
“Apa?”
“Gigolo! Gigolo! Gigolo!” jawabnya
lagi sambil tertawa keras.
“Busyet. Aku juga serius, monyet!”
“Tapi....gigolo?”
“Heh, monyet idiot! Memangnya ada
apa sih dengan istilah gigolo? Aku banyak melihat di sekitar kita, orang-orang
melakukan perbuatan gigolonya tanpa mereka sadari jangan munafik deh!”
“Heh, kucing dapur! Aku cukup mengerti
dengan semua maksudmu, tapi jangan pakai simbol-simbol begituan segala. Biarpun
tujuannya sama, tetap saja istilah gigolo punya kesan negatif di mata
masyarakat, karena ia berurusan dengan hal-hal asusila, amoral, dan aib. Ngerti?”
“Iya-iya, ah ternyata kau seekor
monyet pintar!”
“Dan kau, monyet kesasar!”
Begitulah awal pertemuan kami, sebuah reuni mini yang kocak dan
nakal. Waskito memang punya kebebasan jiwa yang sepadan denganku, tak punya
pikiran melecehkan kendati ucapannya ceplas-ceplos kalau bicara. Sudah hampir tiga setengah jam kami ngobrol gado-gado,
saling tanya dan jawab, saling serang dan tangkis. Sudah berbatang-batang rokok
kami hisap, dengan dua gelas kopi kental dan sepiring wingko babat, namun
Waskito masih juga belum menjelaskan maksud undangannya, ia tampak lebih
tertarik bicara soal-soal umum. Aku harus menanyakannya.
“Ke mana ayah, ibu dan adik-adikmu,
To?”
“Mereka masih di Bokdjolalim, ikut
Pakde yang sedang bersiap-siap pindah ke sini, gabung bersama kita.”
“Kenapa kalian harus pindah?”
“Keadaan zaman, atau mungkin lebih
tepatnya pengorbanan demi pembangunan.”
“Maaf, boleh aku tahu kenapa kau
mengundangku ke sini?
“Kangen. Menghadiri syukuran atau
selamatan rumah ini minggu besok dan mohon bantuan yang lebih penting setelah
kau balik ke Jakarta. Aku harap kau tak keberatan, karena beberapa usaha sudah
kami laksanakan, cuma Jakarta yang belum di telusuri aku ingat kau maka aku
mohon bantuanmu.”
“To, katakanlah pertolongan macam
apa yang kau kehendaki, aku akan berusaha untuk itu.”
“Persoalan penting!”
“Katakanlah!”
“Aku kehilangan anggota keluarga.
Mereka ketakutan saat kampung kami diteror beberapa gerombolan yang kerap
datang di tengah malam, mengancam akan membantai siapa saja yang mereka
kehendaki, kalau tak menuruti perintahnya. Gerombolan pertama menginginkan
penduduk mau menyetujui tanah dan rumah serta hewan piaraan dijual murah-murah
pada mereka, bahkan lebih murah dari sekilo ikan teri.
Gerombolan kedua menghendaki kami
supaya rela membantu secara sukarela, membangun pagar setinggi dua meter lebih
yang mengelilingi bekas kampung kami, tanpa minum apalagi makan. Gerombolan
ketigalah yang paling kejam, mereka merampas uang pembayaran yang seminggu
sebelumnya kami terima, bahkan dengan tandatangan segala.
Ketika beberapa sesepuh melapor ke
aparat dan petugas keamanan, oknum itu menangkap semua utusan kami dengan
tuduhan memfitnah dan mengadu domba. Mereka juga mengancam!”
“Gerombolan itu sebenarnya siapa,
sih?” tanyaku, memotong keseriusan Waskito.
“Mafia tanah dari sumatera,
kakitangan pengusaha asal Hongkong, yang kita tahu sedang kebingungan
mengalihkan modal modal mereka sehubungan dengan kasus pulau sewaan itu sedang
menghangat. Rumit memang, tapi itulah yang bisa kusadap dari sumber-sumber
terpercaya. Dalam situasi genting begitulah, Bude dan adikku diam-diam minggat
entah ke mana, membawa sisa uang pembayaran yang selamat dan sejumlah
perhiasan.
“Sangat menarik, tapi cukup
memprihatinkan.”
“Kau harus menolongku, ikut mencari
dua keluarga itu, gimana?”
“Dengan senang hati.”
Kini kami mulai masuk ke tahap
pembicaraan serius, tak ada lagi gurau bahkan nyengir sekalipun. Waskito lebih
panjang menceritakan kejadian-kejadian lain yang lebih tajam, maupun yang
paling menyedihkan dan yang terakhir ini betul-betul hampir tak percaya sama
sekali, terperanjat hebat! Bayangkan saja, tanah dan biaya pembangunan rumah
yang sekarang sedang kami nikmati keteduhannya ini, ditanggung penuh seorang
direktur perusahaan tekstil, sebagai imbalan atas penyerahan sebelah ginjal
Waskito kepada direktur itu, yang memang memerlukannya.
Aku hampir menangis.
Sungguh luarbiasa tindakan sahabatku
ini.
Kemudian Waskito masuk ke sebuah
kamar, agak lama dan kembali lagi dengan membawa dua foto berfigura, lalu
diserahkannya padaku. “Ini dia, Bude dan adikku itu,” kata Waskito sambil
membersihkan sedikit debu yang menempel.
Aku tersentak, seakan ingat sesuatu.
Sesuatu yang memang masih hangat di benakku.
Hei!
Pengemis itu!
Penjambret itu!
“Apakah
adikmu bernama si Timin, To?”
“Ya.” Dan aku
buru-buru menarik nafas panjang, sambil tak lepas memandangi dua foto itu.
Jelas sudah kini
masalahnya. Aku pun lalu menceritakan segala sesuatu yang kutemui, dan kulihat
di terminal Pulogadung, lengkap serta jujur. Mulanya Waskito mengernyitkan
kulit keningnya, tapi akhirnya ia mengangguk-angguk lega.
Waskito tersenyum.
Sendirian. Baru
kemudian aku menyusul, kendati senyum kami betul-betul sama pahitnya.
Aku jadi ingat sebuah puisi berjudul
Kidung Yang Tak Pernah Usai, karya kami berdua di bedeng dulu.
Jangan menerjemahkan hidup dengan air mata
Karena duri di tangkai mawar adalah misteri
Berdirilah sebagai Napoleon Bonaparte
Di samping makam kaisar Nero
Maka hidup akan menjadi cermin dan akar
Heningkan cipta
Tafakur
Doa
Sesungguhnya gelap adalah titik sebuah terang
Hirup dan belajarlah di sana
Sampai kemudian kau temui dirimu seutuhnya
Dengan keikhlasan dan keikhsanan
Atau tanpa gambaran apa-apa.
Bagaimana cerpennya baguskan? Jangan lupa di share sebanyak-banyaknya ya, agar yang dapat mendapatkan manfaat dari artikel yang kita bagikan. Terima kasih.
Baca juga:
Cerpen Persahabatan Singkat Yang Membuat Terharu
Reviewed by Ahmad Sobri
on
Oktober 17, 2018
Rating:

Tidak ada komentar: